Seseorang mengangkat kedua tangannya dan
mengucapkan ‘Allahu Akbar‘ ketika memulai shalat, ini dinamakan
takbiratul ihram. Takbiratul ihram termasuk rukun shalat, shalat tidak
sah tanpanya. Dalil bahwa takbiratul ihram adalah rukun shalat adalah
hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’ shalatuhu, yaitu tentang
seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga setelah ia shalat
Nabi bersabda kepadanya:ارجِعْ فَصَلِّ فإنك لم تُصلِّ“Ulangi lagi,
karena engkau belum shalat”Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah
sehingga tidak teranggap sudah menunaikan shalat. Kemudian Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan shalat yang benar kepadanya
dengan bersabda:إذا قُمتَ إلى الصَّلاةِ فأسْبِغ الوُضُوءَ، ثم اسْتقبل
القِبْلةَ فكبِّر…“Jika engkau hendak shalat, ambilah wudhu lalu
menghadap kiblat dan bertakbirlah…” (HR. Bukhari 757, Muslim
397)Menujukkan tata cara yang disebutkan Nabi tersebut adalah hal-hal
yang membuat shalat menjadi sah, diantaranya takbiratul ihram.Para ulama
mengatakan, dinamakan dengan takbiratul ihram karena dengan
melakukannya, seseorang diharamkan melakukan hal-hal yang sebelumnya
halal, hingga shalat selesai. Sebagaimana hadits,مفتاح الصلاة الطهور
وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم“Pembuka shalat adalah bersuci (wudhu),
yang mengharamkan adalah takbir dan yang menghalalkan adalah salam”
(HR. Abu Daud 618, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi
Daud)Sebagaimana kita ketahui, ketika dalam keadaan shalat, kita
diharamkan berbicara, makan, minum dan lain-lain hingga shalat
selesai.Bolehkah mengganti ucapan Allahu Akbar?Mengganti ucapan
takbiratul ihram, misalnya dengan الله أجلُّ /Allahu Ajall/ atau الله
أعظمُ /Allahu A’zham/ atau lafadz-lafadz lain, hukumnya haram, walaupun
masih berupa lafadz pujian dan pengagungan terhadap Allah. Karena lafadz
takbir itu tauqifiyyah, ditetapkan oleh dalil. Menggantinya dengan
lafadz lain adalah perbuatan bid’ah.Namun para ulama berselisih pendapat
jika lafadz takbir menggunakan ucapan الله الأكبرُ /Allahul Akbar/.
Sebagian ulama, semisal Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i,
menganggapnya sah. Imam Syafi’i menyatakan bahwa alif lam dalam lafadz
tersebut hanya tambahan tidak mengubah lafadz dan makna (Shifatu
Shalatin Nabi, 58). Demikian juga perihal mengganti lafadz Allahu Akbar
dengan bahasa selain arab.Yang benar, semua itu menyelisihi sunnah Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam. Tidak boleh mengganti lafadz takbir dengan
selain الله أكبرُ. Karena hadits-hadits yang menyebutkan tentang lafadz
takbir dalam shalat, disebutkan hanya lafadz الله أكبرُ. Misalnya
hadits:إنَّهُ لا تتمُّ صلاةٌ لأحدٍ منَ النَّاسِ حتَّى يتوضَّأَ فيضعَ
الوضوءَ مواضعَهُ ثمَّ يقولُ اللَّهُ أَكبرُ“Tidak sempurna shalat
seseorang sampai ia berwudhu, lalu ia membasuh air wudhu pada
tempat-tempatnya, lalu ia berkata ‘Allahu Akbar’” (HR Abu Daud 857,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)Dan Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:صلوا كما رأيتموني أصلي“Shalatlah sebagaimana kalian
melihatku shalat” (HR. Bukhari 631, 5615, 6008)Adapun bagi orang
non-arab yang kesulitan atau tidak bisa melafalkan takbir, sebagian
ulama seperti Syafi’iyyah, Hanabilah, Abu Yusuf membolehkan pelafalan
takbir dengan bahasa lain. Sebagian ulama seperti Malikiyyah dan Al
Qadhi Abu Ya’la berpendapat bahwa gugur baginya kewajiban takbiratul
ihram.Ukuran suara takbirTakbiratul ihram itu wajib diucapkan dengan
lisan, tidak boleh hanya diucapkan di dalam hati. Lalu para ulama
berselisih pendapat apakah dipersyaratkan suara takbir minimal dapat
didengar oleh diri sendiri atau tidak. Sebagian ulama seperti Hanabilah
mempersyaratkan demikian, yaitu suara takbir dapat didengar oleh
sebelahnya atau minimal dapat didengar oleh si pengucap sendiri (Syarhul
Mumthi’, 3/20). Namun yang rajih, hal ini tidak dipersyaratkan. Syaikh
Al Utsaimin mengatakan: “Yang benar, tidak dipersyaratkan seseorang
dapat mendengar suara takbirnya. Karena terdengarnya takbir itu zaaid
(objek eksternal) dari pengucapan. Maka bagi yang meng-klaim bahwa hal
ini diwajibkan, wajib mendatangkan dalil” (Syarhul Mumthi’,
3/20).Bagaimana takbirnya orang bisu?Orang bisu atau orang yang memiliki
gangguan fisik sehingga tidak bisa berkata-kata, maka ia cukup
bertakbir di dalam hati. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
menjelaskan: “Karena perkataan Allahu Akbar itu mencakup ucapan lisan
dan ucapan hati. Tidaklah lisan seseorang mengucapkan Allahu Akbar
kecuali pasti hatinya mengucapkan dan memaksudkannya dalam hati.
Sehingga jika seseorang terhalang untuk mengucapkannya, yang wajib
baginya adalah cukup dengan mengucapkan dengan hatinya” (Syarhul
Mumthi’, 3/20)Namun para ulama berbeda pendapat apakah orang tersebut
harus menggerakan bibirnya sambil mengucapkan di dalam hati? Sebagian
ulama seperti Syafi’iyyah tetap mewajibkan menggerakkan bibir, karena
yang dinamakan al qaul dalam bahasa arab, itu disertai dengan gerakan
bibir. Dan jika seseorang terhalang untuk bertakbir secara sempurna,
maka wajib baginya bertakbir sesuai kemampuan yang ia miliki, termasuk
menggerakkan bibir. Sebagian ulama seperti Malikiyyah, Hanabilah dan
Hanafiyyah tidak mewajibkan, karena gerakan bibir bukanlah tujuan namun
sarana atau wasilah untuk mengucapkan takbir. Sehingga ketika seseorang
terhalang untuk melakukan pengucapan, maka gugur pula sarananya. Dan
sekedar gerakan bibir itu tidak teranggap dalam syari’at (Syarhul
Mumthi’, 3/20, Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 19/92).Mengangkat Kedua
TanganPara ulama bersepakat bahwa disyar’iatkan mengangkat kedua tangan
ketika takbiratul ihram. Dalilnya hadits:أنَّ النبيَّ صلّى الله عليه
وسلّم كان يرفعُ يديه حذوَ مَنكبيه؛ إذا افتتح الصَّلاةَ، وإذا كبَّرَ
للرُّكوع، وإذا رفع رأسه من الرُّكوع“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
biasanya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk ruku’ dan ketika
mengangkat kepada setelah ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya
setinggi pundaknya” (HR. Bukhari 735)Namun mereka berselisih pendapat
mengenai hukumnya. Sebagian ulama mengatakan hukumnya wajib, seperti Al
Auza’i, Al Humaidi, Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim. Dalil mereka adalah
karena hadits-hadits menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
selalu mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram. Sedangkan beliau
bersabda:صلوا كما رأيتموني أصلي“Shalatlah sebagaimana kalian melihatku
shalat”Namun pendapat ini tidak tepat, karena banyak tata cara shalat
yang beliau selalu lakukan seperti duduk tawarruk, duduk iftirasy,
berdoa istiftah, dll namun tidak wajib hukumnya. Bahkan ini semua tidak
dinilai wajib oleh ulama yang mewajibkan mengangkat tangan ketika
takbiratul ihram. Sehingga ada idthirad (kegoncangan) dalam pendapat
ini. Yang benar, Ibnul Mundzir telah menukil ijma ulama bahwa mengangkat
tangan ketika takbiratul ihram itu hukumnya sunnah (Shifatu Shalatin
Nabi, 63-67).Bentuk Jari-Jari Dan Telapak TanganJari-jari direnggangkan,
tidak terlalu terbuka dan juga tidak dirapatkan. Berdasarkan hadits:كان
إذا قام إلى الصلاة قال هكذا – وأشار أبو عامر بيده ولم يفرج بين أصابعه
ولم يضمها“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika shalat beliau
begini, Abu Amir (perawi hadits) mengisyaratkan dengan gerakan
tangannya, beliau tidak membuka jari-jarinya dan tidak merapatkannya”
(HR. Ibnu Khuzaimah 459, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni
Khuzaimah)Untuk telapak tangan, sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim, At
Thahawi, Abu Yusuf dan sebagian besar Hanabilah menganjurkan mengarahkan
telapak tangan lurus ke arah kiblat ketika mengangkat kedua tangan,
berdalil dengan hadits :إذا استفتح أحدُكم الصلاةَ فليرفع يديْهِ ،
وليستقبل بباطنِهما القِبلةَ“Jika salah seorang kalian memulai shalat
hendaklah mengangkat kedua tangannya, lalu hadapkan kedua telapak
tangannya ke arah kiblat” (HR. Al Baihaqi dalan Sunan Al Kubra 2/27,
dalam Silsilah Adh Dha’ifah (2338) Al Albani berkata: “dhaif jiddan”)Dan
ada beberapa hadits yang semakna namun tidak ada yang shahih. Adapun
hadits dari Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu:لأنظرن الى صلاة رسول الله
صلى الله عليه و سلم قال فلما افتتح الصلاة كبر ورفع يديه فرأيت إبهاميه
قريبا من أذنيه“Sungguh aku menyaksikan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
shalat, ketika beliau memulai shalat beliau bertakbir lalu mengangkat
kedua tangannya sampai aku melihat kedua jempolnya dekat dengan kedua
telinganya” (HR. An Nasa-i 1101, dishahihkan Al Albani dalam Sunan An
Nasa-i)bukan merupakan dalil yang sharih akan perbuatan ini. Namun
memang terdapat atsar shahih dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu:انه كان اذا
كبر استحب ان يستقبل بإبهامه القبلة“Ibnu Umar biasanya ketika bertakbir
beliau menyukai menghadapkan kedua ibu jarinya ke arah kiblat” (HR. Ibnu
Sa’ad dalam Ath Thabaqat 4/157, dinukil dari Shifatu Shalatin Nabi,
63)Sebagian ulama berdalil dengan keumuman keutamaan menghadap kiblat di
luar dan di dalam ibadah. Diantaranya seperti ayat:قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ
وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ
وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu
sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (QS. Al Baqarah: 144)Juga
hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:البيتِ الحرامِ قبلتِكم أحياءً
وأمواتًا“Masjidil Haram adalah kiblat kalian ketika hidup maupun ketika
mati” (HR. Abu Daud 2875)Hadits ini diperselisihkan keshahihannya dan
secara umum ini adalah pendalilan yang tidak sharih (tegas). Oleh karena
itu, yang rajih insya Allah, mengarahkan kedua telapak tangan ke kiblat
ketika takbiratul ihram itu boleh dilakukan sebagaimana perbuatan Ibnu
Umar radhiallahu’anhu namun tidak sampai disunnahkan (Shifatu Shalatin
Nabi, 63-66).Ukuran TinggiKedua tangan diangkat setinggi pundak atau
setinggi ujung telinga. Berdasarkan hadits:كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ
عليهِ وسلمَ إذا قام إلى الصلاةِ يرفعُ يديه حتى إذا كانتا حذوَ
مِنكَبيه“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat
beliau mengangkat kedua tangannya sampai setinggi pundaknya” (HR. Ahmad
9/28, Ahmad Syakir mengatakan: “sanad hadits ini shahih”)Juga
hadits:كانَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا افتتحَ الصلاةَ رفع
َيدَيهِ حتى تكوناَ حَذْوَ أُذُنَيهِ“Biasanya Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam ketika memulai shalat beliau mengangkat
kedua tangannya sampai setinggi kedua telinganya” (HR. Al Baihaqi
2/26)Juga hadits dari Malik bin Huwairits radhiallahu’anhuأنه رأى نبي
الله صلى الله عليه وسلم . وقال : حتى يحاذي بهما فروع أذنيه“Ia melihat
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat, ia berkata (tangannya diangkat)
sampai setinggi pangkal telinganya” (HR. Muslim 391, Abu Daud 745)Ini
adalah khilaf tanawwu’ (perbedaan variasi), maka seseorang boleh memilih
salah satu dari cara yang ada. Bahkan yang lebih utama terkadang
mengamalkan yang satu dan terkadang mengamalkan yang lain, sehingga
masing-masing dari sunnah ini tetap lestari dan diamalkan orang.Sebagian
ulama memperinci ukuran tersebut, yaitu bagian bawah telapak tangan
setinggi pundak, atau bagian atas telapak tangan setinggi pangkal
telinga. Namun yang tepat, dalam hal ini perkaranya luas, yang
mengangkat kedua telapaknya tangan sampai sekitar pundak atau sampai
sekitar telinga tanpa ada batasan tertentu itu sudah melakukan yang
disunnahkan oleh Nabi (lihat Syarhul Mumthi, 3/31). Adapun praktek
sebagian orang yang meyakini bahwa kedua telapak tangan harus menyentuh
daun telinga, ini tidak ada asalnya sama sekali (Shifatu Shalatin Nabi,
63).Takbir Dulu Atau Angkat Tangan Dulu?Menurut Malikiyyah dan
Syafi’iyyah, takbir berbarengan dengan mengangkat tangan. Sedangkan
Hanafiyyah dan salah satu pendapat Syafi’iyyah, mengangkat tangan itu
sebelum takbir. Sebagian ulama Hanafiyah juga berpendapat mengangkat
tangan itu setelah takbir. Yang benar, perkara ini masih bisa ditolerir,
artinya boleh mengangkat tangan dahulu sebelum takbir, boleh setelah
takbir dan dibolehkan juga berbarengan dengan takbir. Karena semua ini
pernah dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (Ashlu Sifati
Shalatin Nabi, 193-199).Dalil sebelum takbirHadits dari Ibnu Umar
radhiallahu’anhu:كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا قام
إلى الصلاة؛ رفع يديه حتى تكونا حذو منكبيه ثم كبَّر“Pernah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau mengangkat kedua
tangannya sampai keduanya setinggi pundak, lalu bertakbir” (HR. Muslim
390)Hadits dari Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu:كان رسول الله
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا قام إلى الصلاة؛ يرفع يديه حتى
يحاذي بهما منكبيه، ثميكبر“Pernah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
ketika shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai keduanya setinggi
pundak, lalu bertakbir” (HR. Abu Daud 729 dishahihkan Al Albani dalam
Shahih Abi Daud)Dalil bersamaan dengan takbirHadits dari Ibnu Umar
Radhiallahu’anhu:رأيت النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افتتح
التكبير في الصلاة، فرفع يديه حين يكبر حتى يجعلهماحذو منكبيه، وإذا كبَّر
للركوع؛ فعل مثله“Aku melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memulai
shalatnya dengan takbir. Lalu beliau mengangkat kedua tangannya ketika
bertakbir hingga keduanya setinggi pundak. Jika beliau hendak ruku,
beliau juga melakukan demikian” (HR. Bukhari 738)Hadits Malik Ibnul
Huwairits radhiallahu’anhu:أن رسول الله كان إذا صلى ، يرفع يديه حين يكبر
حيال أذنيه ، وإذا أراد أن يركع ، وإذا رفع رأسه من الركوع“Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika shalat beliau mengangkat kedua
tangannya ketika bertakbir hingga sampai setinggi kedua telinganya.
Beliau lakukan itu juga ketika hendak ruku’ atau hendak mengangkat
kepada dari ruku’” (HR. An Nasa-i 879, dishahihkan Al Albani dalam
Shahih Sunan Nasa-i)Dalil setelah takbirHadits dari Abu Qilabah,أنه رأى
مالك بن الحويرث ، إذا صلى كبر . ثم رفع يديه . وإذا أراد أن يركع رفع يديه
. وإذا رفع رأسه من الركوع رفع يديه . وحدث ؛ أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم كان يفعل هكذا“Ia melihat Malik bin Al Huwairits radhiallahu’anhu
jika shalat ia bertakbir, lalu mengangkat kedua tangannya. Jika ia ingin
ruku, ia juga mengangkat kedua tangannya. Jika ia mengangkat kepala
dari ruku, juga mengangkat kedua tangannya. Dan ia pernah mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga melakukan seperti itu”
(HR. Muslim 391)Semoga yang sedikit ini bermanfaat.
Referensi:Shifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Tharifi, cetakan Maktabah Darul MinhajAsy Syarh Al Mumthi’ Ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Asy SyamilahAl Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Kementrian Agama Kuwait, Asy SyamilahAshlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Asy Syamilah
Dari artikel 'Tata Cara Takbiratul Ihram dalam Shalat — Muslim.Or.Id'
sumber : https://www.facebook.com/groups/461147960635195/doc/462900683793256/
Referensi:Shifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Tharifi, cetakan Maktabah Darul MinhajAsy Syarh Al Mumthi’ Ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Asy SyamilahAl Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Kementrian Agama Kuwait, Asy SyamilahAshlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Asy Syamilah
Dari artikel 'Tata Cara Takbiratul Ihram dalam Shalat — Muslim.Or.Id'